Day 1: Surabaya
Hari
pertama Youth Adventure dimulai hari
Senin tanggal 7 Oktober 2019 dengan titik start
di Wisma Remaja Dukuh Kupang. Hari yang sangat mendebarkan dan memicu
adrenalin karena untuk pertama kalinya saya akan merasakan bagaimana hidup di
jalan bersama kedua teman satu tim hanya dengan uang 100 ribu/anak. Setelah
dilepas pukul 09:30 WIB, saya dan tim saya berjalan ke arah Selatan untuk
sekadar mencari inspirasi. Kami pun memutuskan untuk membeli 30 buah tisu
kecil, lalu pergi ke tempat print-printan terdekat untuk mencetak quote kalimat toleransi dan pentingnya
berbagi yang akan kami tempelkan bersama tisu-tisu yang kami beli. Kami ingin
menjual sesuatu dan berusaha mendapat uang lebih dari penjualan tisu tersebut.
Kami lalu berinisiatif untuk pergi ke Taman Bungkul, yang jaraknya kurang lebih
tujuh kilometer dari Wisma Remaja Dukuh Kupang.
Sungguh perjalanan yang lumayan
melelahkan. Kami menjajakan tisu kepada orang-orang yang kami temui di jalan
dan kami menemukan banyak orang baik yang mau membantu kami bertiga. Bahkan ada
Ibu-ibu penjaga rumah makan yang berbaik hati memberikan tiga botol air putih
dingin kepada kami dan ada yang memberikan uang 20 ribu untuk kami. Walaupun
ada beberapa yang menolak kami, kami sungguh terharu bahwa banyak masyarakat
yang sedia membantu kami. Sekitar pukul 16:00 WIB kami sampai di Taman Bungkul
dan kami pun mendapatkan rezeki yang lumayan. Jika di total, jumlahnya mencapai
270 ribu. Melihat pengeluaran kami yang hanya berjumlah kurang lebih 40 ribu
untuk membeli tisu dan biaya mencetak tulisan, total uang 270 ribu sudah diluar
ekspektasi kami.
Malam pun tiba, kami memutuskan untuk istirahat makan dan
sholat di masjid dekat taman dan melanjutkan kegiatan berjualan tisu kami
karena semakin malam, semakin banyak orang yang datang ke Taman Bungkul. Sampai
pada saat kami menjajakan tisu kami ke seorang Ibu-ibu berumur 50an yang sedang
duduk-duduk bersama beberapa koleganya sambil menikmati kuaci di pinggir taman.
Kami menjelaskan maksud dan tujuan kami serta menjelaskan pentingnya rasa
toleransi antar suku dan antar umat beragama, serta menjelaskan pandangan kami
mengenai pemerintah Indonesia saat ini. Saya ingat sekali ucapan yang beliau
katakan kepada kami, “Jokowi adalah
pemimpin kita, setidak sukanya kamu kepada Jokowi, hormati lah dia, karena
beliau tetap pemimpin kita,” sebelum beliau memberikan uang 300 ribu kepada
kami. Sontak kami terkejut, karena nominal yang diberikan terlalu besar untuk
sekadar sebungkus tisu. Disitu saya menangis bersama salah satu rekan saya
karena merasa terharu mendapat uang sebanyak itu. Beliau membeli semua tisu
yang kami punya dan menyuruh kami untuk segera mencari bus ke Bondowoso.
Kami
lalu bergegas menuju ke arah Pos Satpam taman yang berjarak tak jauh dari situ
untuk menanyakan bagaimana cara untuk bisa ke Terminal Bungurasih. Pak Satpam
dan salah satu petugas Satpol PP disitu membantu kami mencari botol plastik
bekas untuk dapat naik Bus Surabaya karena per orang diharuskan memberi lima
botol plastik bekas ukuran sedang. Jadi total botol plastik bekas yang harus
kami dapatkan adalah 15. Setelah mendapatkan botol secukupnya, kami lalu naik
Bus Surabaya menuju ke Terminal Bungurasih sekitar jam 19:45 WIB.
Sesampainya
di terminal, kami dibantu oleh seorang warga yang kami temui di Bus Surabaya
bernama Bapak Widodo yang telah sangat berbaik hati mencarikan bus kearah
Bondowoso yang aman dari calo. Kami berangkat pukul 21:30 WIB menuju Bondowoso
dan transit di Terminal Probolinggo dari pukul 12 malam sampai pagi.
Lesson Learned:
Bahwa
banyak sekali orang-orang baik yang kami jumpai di jalan, dan kami mengerti
betapa sulitnya mencari uang untuk dapat bertahan hidup. Kami juga belajar
untuk dapat berhemat dan tidak menghambur-hamburkan uang karena diluar sana
banyak sekali orang-orang yang bekerja membanting tulang dan bahkan bekerja
lebih keras dari apa yang kami lakukan, untuk dapat bertahan hidup. Saya juga
belajar bahwa kita tidak perlu menjadi orang yang mampu untuk dapat berbagi
karena sekecil apa pun bantuan yang kita berikan akan sangat berarti bagi orang
lain. Kita juga menjadi manusia yang mengerti bahwa berdo’a dan banyak
bersyukur perlu kita lakukan karena hasil tidak akan mengkhianati usaha.
Day 2: Bondowoso
Untuk
pertama kalinya dalam sepanjang hidup saya, saya tidur di di terminal. Karena
hari sudah larut, dan bus memang transit dan akan berangkat menuju Bondowoso
pukul 07:00 WIB, kami diharuskan tidur di dalam bus sampei esok hari. Kami
mengobrol dengan supir bus lain yang ada disana sembari minum teh hangat di
warung-warung kecil yang ada di dalam terminal, yang hanya bermodalkan meja
kayu kecil dan bangku-bangku kayu sederhana, tanpa atap, dan diterangi lampu
kuning di tengahnya. Kami menghabiskan waktu malam kami di dalam bus sampai
keesokan hari.
Setelah mandi dan bersiap-siap berangkat, bus pun menuju
Bondowoso dan tiba disana pukul 11:00 WIB. Hanya satu kata yang dapat kami
ucapkan. Sepi. Terminal Bondowoso sungguh sepi, hanya ada beberapa bus yang
terparkir dan tidak banyak penumpang yang naik ataupun turun dari bus. Kami
sempat bingung ingin melakukan kegiatan apa di Bondowoso sebagai bentuk Ziarah
Tangan di Atas kami, karena hari sungguh panas dan terik, dan terminal begitu
sepi.
Kami lalu duduk-duduk sebentar sembari berbincang-bincang dengan pedagang
asongan dan seorang pengamen yang ada di terminal. Pengamen tersebut melakukan
kegiatan mengamennya karena menyanyi adalah hobinya. Ketika tidak ada bus yang
parkir, pengamen itu tetap memainkan gitarnya di ruang tunggu terminal tanpa
henti. Pengamen tersebut tidak mau menerima bantuan kami dan malah mengantar
kami ke warung makan di terminal yang menjadi warung langganannya karena makanan
yang tersedia terbilang murah.
Setelah itu, kami berjalan kurang lebih tiga
kilometer kearah alun-alun Bondowoso untuk mencari anak jalanan atau pengamen,
namun nihil, karena alun-alun mulai ramai dari sore sampai malam. Setelah
beberapa menit duduk-duduk di alun-alun, kami pun berinisiatif untuk membeli
sandal jepit untuk kami sumbangkan ke mushola-mushola yang belum menyediakan
sandal jepit untuk wudhu. Saya dan salah satu rekan saya berjalan lima menit
kearah pasar dan membeli beberapa pasang sendal jepit dengan biaya 120 ribu. Kami
lalu sumbangkan sandal jepit ke masjid dekat alun-alun Bondowoso dan mushola
terminal.
Selanjutnya, kami menuju Situbondo menggunakan angkutan kota dengan ongkos
7 ribu/orang dan turun di Terminal Situbondo. Berikutnya, kami berjalan kearah
jalan raya yang banyak dilewati bus dan truk yang menuju kearah Banyuwangi dan menunggu
selama satu jam di lampu merah. Akhirnya kami mendapat tumpangan truk tronton
gandeng kearah Pelabuhan Ketapang yang ditempuh selama kurang lebih tiga jam,
dan sampai di Pelabuhan Ketapang pukul 00:00 WIB.
Lesson Learned:
Bahwa
hidup itu kadang di atas dan kadang di bawah. Kemarin tim kami diberikan
kemudahan dalam melakukan Ziarah Tangah di Bawah, namun mendapat kesulitan
dalam melakukan Ziarah Tangan di Atas. Kami belajar banyak akan pentingnya
bersabar.
Day 3: Bali
Setelah
tiba di Pelabuhan Ketapang pukul 00:00 WIB, kami memutuskan untuk bermalam dan
istirahat di ruang tunggu pelabuhan yang sudah sepi dan berangkat keesokan
harinya. Karena Pelabuhan Ketapang buka 24 jam dan selalu ada kapal yang
berlabuh setiap waktunya, membuat ruang tunggu pelabuhan tidak berfungsi dengan
baik. Kami menyeberang dari Banyuwangi ke Bali pukul 07:00 WIB dan tiba di
Pelabuhan Gilimanuk pukul 09:00 WITA dan makan di pelabuhan. Kemudian kami
berencana untuk menumpang truk untuk bisa menuju ke Denpasar, namun sayangnya
kami tidak menemukan truk yang lewat dan tiba bersamaan dengan kami. Terpaksa
kami naik angkutan kota dengan ongkos 40 ribu/orang untuk menuju ke Terminal
Ubung, Denpasar. Di dalam angkot, kami bertemu dua turis asing asal Jerman dan
Selandia Baru dan berbicara tentang banyak hal.
Kami tiba di Terminal Ubung
pukul 12:30 WITA dan memutuskan untuk mencari masjid atau mushola terdekat.
Disini lah kami merasakan sulitnya mencari masjid. Kami harus berjalan kurang
lebih tiga kilometer untuk menuju Masjid Baiturrahman, salah satu masjid
terbesar di daerah Kampung Jawa. Setelah melakukan sholat Ashar, kami lalu
mencari langgar terdekat untuk menyumbangkan sisa sandal jepit kami dan akhirnya
kami mengajarkan pentingnya rasa toleransi di langgar RT 5 Kampung Jawa kepada
anak-anak SD yang mengikuti kegiatan membaca Al-Qur’an di langgar tersebut.
Kami juga menyanyikan lagu Tanah Air bersama mereka semua dan melakukan
permainan-permainan kecil yang membuat mereka terhibur. Ziarah Kebebasan kami
selanjutnya kami pakai untuk berjalan-jalan menuju Kuta, melihat Monumen Bom
Bali (Ground Zero Monument) untuk
pertama kali, yang mana monumen ini sendiri dibangun untuk menghormati para
korban Bom Bali pada Oktober 2002 silam di Jalan Legian, Kuta.
Lesson Learned:
Bahwa
sesekali kita harus merasakan bagaimana rasanya menjadi minoritas supaya dapat
menambah rasa toleransi antar umat. Di Kampung Jawa, masyarakat hidup rukun dan
tentram, serta hidup saling menghormati, tidak ada perpecahan maupun konflik di
Bali, sebab menurut saya, semua masyarakat harus hidup rukun dimana pun kita
berada.