Laman

Minggu, 03 November 2019

Youth Adventure 2019: Siapa dan Hal Apa yang Akan Kau Temui di Jalan?

Day 1: Surabaya
Hari pertama Youth Adventure dimulai hari Senin tanggal 7 Oktober 2019 dengan titik start di Wisma Remaja Dukuh Kupang. Hari yang sangat mendebarkan dan memicu adrenalin karena untuk pertama kalinya saya akan merasakan bagaimana hidup di jalan bersama kedua teman satu tim hanya dengan uang 100 ribu/anak. Setelah dilepas pukul 09:30 WIB, saya dan tim saya berjalan ke arah Selatan untuk sekadar mencari inspirasi. Kami pun memutuskan untuk membeli 30 buah tisu kecil, lalu pergi ke tempat print-printan terdekat untuk mencetak quote kalimat toleransi dan pentingnya berbagi yang akan kami tempelkan bersama tisu-tisu yang kami beli. Kami ingin menjual sesuatu dan berusaha mendapat uang lebih dari penjualan tisu tersebut. Kami lalu berinisiatif untuk pergi ke Taman Bungkul, yang jaraknya kurang lebih tujuh kilometer dari Wisma Remaja Dukuh Kupang. 

Sungguh perjalanan yang lumayan melelahkan. Kami menjajakan tisu kepada orang-orang yang kami temui di jalan dan kami menemukan banyak orang baik yang mau membantu kami bertiga. Bahkan ada Ibu-ibu penjaga rumah makan yang berbaik hati memberikan tiga botol air putih dingin kepada kami dan ada yang memberikan uang 20 ribu untuk kami. Walaupun ada beberapa yang menolak kami, kami sungguh terharu bahwa banyak masyarakat yang sedia membantu kami. Sekitar pukul 16:00 WIB kami sampai di Taman Bungkul dan kami pun mendapatkan rezeki yang lumayan. Jika di total, jumlahnya mencapai 270 ribu. Melihat pengeluaran kami yang hanya berjumlah kurang lebih 40 ribu untuk membeli tisu dan biaya mencetak tulisan, total uang 270 ribu sudah diluar ekspektasi kami. 

Malam pun tiba, kami memutuskan untuk istirahat makan dan sholat di masjid dekat taman dan melanjutkan kegiatan berjualan tisu kami karena semakin malam, semakin banyak orang yang datang ke Taman Bungkul. Sampai pada saat kami menjajakan tisu kami ke seorang Ibu-ibu berumur 50an yang sedang duduk-duduk bersama beberapa koleganya sambil menikmati kuaci di pinggir taman. Kami menjelaskan maksud dan tujuan kami serta menjelaskan pentingnya rasa toleransi antar suku dan antar umat beragama, serta menjelaskan pandangan kami mengenai pemerintah Indonesia saat ini. Saya ingat sekali ucapan yang beliau katakan kepada kami, “Jokowi adalah pemimpin kita, setidak sukanya kamu kepada Jokowi, hormati lah dia, karena beliau tetap pemimpin kita,” sebelum beliau memberikan uang 300 ribu kepada kami. Sontak kami terkejut, karena nominal yang diberikan terlalu besar untuk sekadar sebungkus tisu. Disitu saya menangis bersama salah satu rekan saya karena merasa terharu mendapat uang sebanyak itu. Beliau membeli semua tisu yang kami punya dan menyuruh kami untuk segera mencari bus ke Bondowoso. 

Kami lalu bergegas menuju ke arah Pos Satpam taman yang berjarak tak jauh dari situ untuk menanyakan bagaimana cara untuk bisa ke Terminal Bungurasih. Pak Satpam dan salah satu petugas Satpol PP disitu membantu kami mencari botol plastik bekas untuk dapat naik Bus Surabaya karena per orang diharuskan memberi lima botol plastik bekas ukuran sedang. Jadi total botol plastik bekas yang harus kami dapatkan adalah 15. Setelah mendapatkan botol secukupnya, kami lalu naik Bus Surabaya menuju ke Terminal Bungurasih sekitar jam 19:45 WIB. 

Sesampainya di terminal, kami dibantu oleh seorang warga yang kami temui di Bus Surabaya bernama Bapak Widodo yang telah sangat berbaik hati mencarikan bus kearah Bondowoso yang aman dari calo. Kami berangkat pukul 21:30 WIB menuju Bondowoso dan transit di Terminal Probolinggo dari pukul 12 malam sampai pagi.

Lesson Learned:
Bahwa banyak sekali orang-orang baik yang kami jumpai di jalan, dan kami mengerti betapa sulitnya mencari uang untuk dapat bertahan hidup. Kami juga belajar untuk dapat berhemat dan tidak menghambur-hamburkan uang karena diluar sana banyak sekali orang-orang yang bekerja membanting tulang dan bahkan bekerja lebih keras dari apa yang kami lakukan, untuk dapat bertahan hidup. Saya juga belajar bahwa kita tidak perlu menjadi orang yang mampu untuk dapat berbagi karena sekecil apa pun bantuan yang kita berikan akan sangat berarti bagi orang lain. Kita juga menjadi manusia yang mengerti bahwa berdo’a dan banyak bersyukur perlu kita lakukan karena hasil tidak akan mengkhianati usaha.



Day 2: Bondowoso
Untuk pertama kalinya dalam sepanjang hidup saya, saya tidur di di terminal. Karena hari sudah larut, dan bus memang transit dan akan berangkat menuju Bondowoso pukul 07:00 WIB, kami diharuskan tidur di dalam bus sampei esok hari. Kami mengobrol dengan supir bus lain yang ada disana sembari minum teh hangat di warung-warung kecil yang ada di dalam terminal, yang hanya bermodalkan meja kayu kecil dan bangku-bangku kayu sederhana, tanpa atap, dan diterangi lampu kuning di tengahnya. Kami menghabiskan waktu malam kami di dalam bus sampai keesokan hari. 

Setelah mandi dan bersiap-siap berangkat, bus pun menuju Bondowoso dan tiba disana pukul 11:00 WIB. Hanya satu kata yang dapat kami ucapkan. Sepi. Terminal Bondowoso sungguh sepi, hanya ada beberapa bus yang terparkir dan tidak banyak penumpang yang naik ataupun turun dari bus. Kami sempat bingung ingin melakukan kegiatan apa di Bondowoso sebagai bentuk Ziarah Tangan di Atas kami, karena hari sungguh panas dan terik, dan terminal begitu sepi. 

Kami lalu duduk-duduk sebentar sembari berbincang-bincang dengan pedagang asongan dan seorang pengamen yang ada di terminal. Pengamen tersebut melakukan kegiatan mengamennya karena menyanyi adalah hobinya. Ketika tidak ada bus yang parkir, pengamen itu tetap memainkan gitarnya di ruang tunggu terminal tanpa henti. Pengamen tersebut tidak mau menerima bantuan kami dan malah mengantar kami ke warung makan di terminal yang menjadi warung langganannya karena makanan yang tersedia terbilang murah. 

Setelah itu, kami berjalan kurang lebih tiga kilometer kearah alun-alun Bondowoso untuk mencari anak jalanan atau pengamen, namun nihil, karena alun-alun mulai ramai dari sore sampai malam. Setelah beberapa menit duduk-duduk di alun-alun, kami pun berinisiatif untuk membeli sandal jepit untuk kami sumbangkan ke mushola-mushola yang belum menyediakan sandal jepit untuk wudhu. Saya dan salah satu rekan saya berjalan lima menit kearah pasar dan membeli beberapa pasang sendal jepit dengan biaya 120 ribu. Kami lalu sumbangkan sandal jepit ke masjid dekat alun-alun Bondowoso dan mushola terminal. 

Selanjutnya, kami menuju Situbondo menggunakan angkutan kota dengan ongkos 7 ribu/orang dan turun di Terminal Situbondo. Berikutnya, kami berjalan kearah jalan raya yang banyak dilewati bus dan truk yang menuju kearah Banyuwangi dan menunggu selama satu jam di lampu merah. Akhirnya kami mendapat tumpangan truk tronton gandeng kearah Pelabuhan Ketapang yang ditempuh selama kurang lebih tiga jam, dan sampai di Pelabuhan Ketapang pukul 00:00 WIB.

Lesson Learned:
Bahwa hidup itu kadang di atas dan kadang di bawah. Kemarin tim kami diberikan kemudahan dalam melakukan Ziarah Tangah di Bawah, namun mendapat kesulitan dalam melakukan Ziarah Tangan di Atas. Kami belajar banyak akan pentingnya bersabar.  
 


Day 3: Bali
Setelah tiba di Pelabuhan Ketapang pukul 00:00 WIB, kami memutuskan untuk bermalam dan istirahat di ruang tunggu pelabuhan yang sudah sepi dan berangkat keesokan harinya. Karena Pelabuhan Ketapang buka 24 jam dan selalu ada kapal yang berlabuh setiap waktunya, membuat ruang tunggu pelabuhan tidak berfungsi dengan baik. Kami menyeberang dari Banyuwangi ke Bali pukul 07:00 WIB dan tiba di Pelabuhan Gilimanuk pukul 09:00 WITA dan makan di pelabuhan. Kemudian kami berencana untuk menumpang truk untuk bisa menuju ke Denpasar, namun sayangnya kami tidak menemukan truk yang lewat dan tiba bersamaan dengan kami. Terpaksa kami naik angkutan kota dengan ongkos 40 ribu/orang untuk menuju ke Terminal Ubung, Denpasar. Di dalam angkot, kami bertemu dua turis asing asal Jerman dan Selandia Baru dan berbicara tentang banyak hal. 

Kami tiba di Terminal Ubung pukul 12:30 WITA dan memutuskan untuk mencari masjid atau mushola terdekat. Disini lah kami merasakan sulitnya mencari masjid. Kami harus berjalan kurang lebih tiga kilometer untuk menuju Masjid Baiturrahman, salah satu masjid terbesar di daerah Kampung Jawa. Setelah melakukan sholat Ashar, kami lalu mencari langgar terdekat untuk menyumbangkan sisa sandal jepit kami dan akhirnya kami mengajarkan pentingnya rasa toleransi di langgar RT 5 Kampung Jawa kepada anak-anak SD yang mengikuti kegiatan membaca Al-Qur’an di langgar tersebut. 

Kami juga menyanyikan lagu Tanah Air bersama mereka semua dan melakukan permainan-permainan kecil yang membuat mereka terhibur. Ziarah Kebebasan kami selanjutnya kami pakai untuk berjalan-jalan menuju Kuta, melihat Monumen Bom Bali (Ground Zero Monument) untuk pertama kali, yang mana monumen ini sendiri dibangun untuk menghormati para korban Bom Bali pada Oktober 2002 silam di Jalan Legian, Kuta.

Lesson Learned:
Bahwa sesekali kita harus merasakan bagaimana rasanya menjadi minoritas supaya dapat menambah rasa toleransi antar umat. Di Kampung Jawa, masyarakat hidup rukun dan tentram, serta hidup saling menghormati, tidak ada perpecahan maupun konflik di Bali, sebab menurut saya, semua masyarakat harus hidup rukun dimana pun kita berada.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...